Sayangnya, si penemu malah tidak sukses, karena tidak mampu memasarkan produknya dengan baik. Dia menjual formula Coca-Cola kepada beberapa temannya, salah satunya Asa Griggs Candler, seorang pebisnis apotek, bank, dan pabrik obat (bukan Apoteker lho, karena dia jebolan SMU). Di tangan Candler, Coca-Cola mulai dijual sebagai minuman, bukan obat. Candler juga beriklan dengan memasang logo Coca-Cola di berbagai tempat, juga menyediakan "kupon Cola" yang mendongkrak penjualan, begitu seterusnya hingga Coca-Cola Company menjadi besar seperti saat ini. Ya, ahli kimia dan farmasi belum tentu ahli pemasaran bukan? Hehehe....
2. "Kodak", nama ini tentu tak asing di telinga kita. Para pencetus merek ini konon mencari satu kata yang pas dan dapat dibaca dengan bunyi yang sama di seluruh dunia. Setelah disurvei sana-sini ketemulah nama "Kodak".
Oh ya, another Kodak's fact yang bisa jadi pembelajaran dunia marketing adalah jangan terpaku pada satu produk. Pemasar berangkat dari kebutuhan dan keinginan konsumen. Gampang-nya, untuk membajak sawah secara efisien diperlukan suatu alat. Kira-kira mana yang menang: pemasar yang menyediakan traktor atau pemasar yang fokus membuat satu cangkul berkualitas bahkan bertatahkan berlian? Ilustrasi ini membuat kita lebih mudah memahami marketing concept. Demikian pula kasus Kodak. Dulu Kodak dikenal sebagai merek kamera film (langsung cetak!) dan film yang terbaik di dunia. Kodak terus berusaha membuat film berkualitas paling baik. Namun mereka terkena marketing myopia alias terlena dengan film-nya, sampai tidak menyadari adanya "celah" kamera digital yang dikembangkan Sony :) Saat kamera digital muncul, para produsen kamera film dan film terpukul. Bahkan banyak yang bangkrut. Namun, Kodak "selamat" karena mampu mengikuti digitalisasi, walaupun bukan (belum) sebagai market leader lagi.
3. Pernah dengar merek mobil "Datsun"? Sekarang jadi "Nissan". Pernah kan? Perubahan nama "Datsun" jadi "Nissan" disebabkan oleh pengucapannya. Merek mobil ini juga dipasarkan di Amerika Serikat. Orang sana yang berbahasa inggris tidak suka mengucapkan merek "Datsun" karena mirip dengan pengucapan "dead-son" yang berarti anak laki-laki yang meninggal. Pemasar kemudian mengganti mereknya menjadi "Nissan" yang dibaca seperti "nice-son" yang berarti anak laki-laki yang baik. Wha, padahal kalau di Indonesia kan artinya malah batu kuburan... Tapi orang Indonesia sih cuek aja, yang penting mobil bagus, hehehe... Language matters!
Kedua logo ini masih versi lama
4. Kenal Ronald McDonald? Yup, dia maskot McD yang bentuknya badut tersenyum :) Tapi di Jepang, maskot McD bukan si Ronald, tapi sepupunya Ronald, si Donald McDonald (kayak nama orang Sunda, euy!). Tahukah Anda bedanya? Perhatikan baik-baik senyum kedua maskot ini... Ya, si Donald giginya ga kelihatan! Masih ingat ajaran orang tua yang kalau menguap/tertawa mulutnya ditutupi? Ajaran Jepang juga demikian. Tidak sopan kalau gigi sampai terlihat. Maka, maskot McD di sana dibuat tidak terlihat giginya :D
Selain itu, orang Jepang punya masalah bilang huruf "L". Kadang-kadang mereka nggak bisa membedakan "R" dengan "L". Nah, biar selamat, si Ronald digantikan sepupunya: Donald.
5. Bagi penggemar kopi, kalau pergi ke timur tengah mungkin tidak menemukan Starbucks sebanyak di Indonesia. Starbucks mengalami beberapa kesulitan untuk memasuki pasar timur tengah, terutama di Arab. Kesulitan ini disebabkan oleh logo Starbucks. Di Arab (terutama Saudi), logo itu diprotes karena menampilkan sosok wanita tanpa jilbab dengan rambut terurai dan wajah terekspos. Sosok ini tidak sesuai dengan kaidah berpakaian di sana. Sedangkan masalah lainnya, logo tersebut mirip dengan Queen Esther, seorang ratu Yahudi-Persia. Masalahnya, orang timur tengah cukup sensitif dengan Jews atau Yahudi. Akhirnya pihak Starbuck mengklarifikasi bahwa logonya bukan Queen Esther, melainkan putri duyung. Sedangkan kemunculan logo tersebut dikurangi (di cabang Uni Emirat Arab lebih ditonjolkan tulisan "Starbucks Coffee" dengan font khas Starbucks).
Cabang Starbucks di Mall of Uni Arab Emirates