Friday, September 30, 2011

Business Valuation at A Glance

I actually write this to make an easy way to recall my memory about my job description. Last year, I worked in a medicine factory as a quality assurance specialist. But now I am a business valuation analyst of an American business valuation company. When my friends ask me, "Where do you work at?" My answer is, "In a business valuation company." Then they ask, "What is business valuation?"



Business valuation company is not popular in the country where I live, Indonesia. Here, people don't even care about valuing a business, because they don't know the purpose of business valuation. Let me explain, there are several reasons for a company to know their business value: employee stock options (ESOP) sharing, gift or property tax (if they want to share the tax income of some properties they have), stock options, partnership, marital dissolution, and more.


Business valuation is in the area of finance and accounting and I am totally new for this job. What do I do in my office? The essence of my job is making business valuation reports for the clients. Basically, there are three approaches of valuing a business:

1. Income approach
Each company must have periodical financial statements. It is an analyst's job to examine the financial statements, especially the revenue or income part, perform some calculations, and conclude the value of the firm or company. There are two major parts to be examined: capitalization of earnings (Cap. Earnings) and discounted cash flows (DCF) or cash flows. By the case and conditions (e.g. valuing controlling or non-controlling, minority or majority interests), analyst will decide to use control premiums or discount to adjust the value.

2. Market approach
Market conditions influence the value of a company. Talking about discounts, there are two kinds of discount considered: Discount of Lack of Control (DLOC) that represents shareholders' control of the firm, and Discount of Lack of Marketability (DLOM) that represents the ability for a firm to be marketed (sold).

Market approach consists of two methods:
- Public Company (PC) guidelines
This method compares client company's financial to public companies' that have similar business. Data collected from subscribed sites, and those subscriptions are expensive. Analyst has to see the business description and sort the companies which have similar business as client's. Beside the description, analyst had to see those public companies' sales.

- Merger & Acquisition (M&A) guidelines
When using M&A method, analysts will collect M&A transaction data of certain periods from subscribed sites. Then, like the PC method, sort the data, perform some comparisons and calculations. M&A tends to represent control of the firm, while PC method usually follows the nature of DCF.

Then, the analyst will decide to use control premiums or discounts, based on the case and conditions.

3. Asset approach
This kind of approach is based on client company's assets. Net Asset Value (NAV) used in this method. Again, analyst's job is to examine client's financials and perform some calculations before deciding the company's value. Control premiums or discounts can be used to adjust the value, based on the company's conditions.

In a business valuation report, there are company background, profiles, ownership, tax status, economic outlook, and industry analysis, beside the financial methods.

Friday, September 16, 2011

Apakah atasan yang baik harus galak?

Sekian tahun yang lalu saya "dicekoki" ilmu manajemen oleh dosen-dosen saya. Salah satunya ilmu untuk men-treatment karyawan, siapa tau di kemudian hari saya jadi bos :D Teori yang satu ini saya pegang sampai sekarang dan selama saya bekerja, teori ini sering nggak diaplikasikan oleh para atasan di tempat kerja saya. Malahan dulu sewaktu saya cerita kalau saya diajari teori ini, saya ditertawakan. Teman-teman saya enggan mengaplikasikannya.

Teori motivasi X dan Y pertama kali dikemukakan oleh Douglas McGregor tahun 1960-an. McGregor mengelompokkan karyawan menjadi 2 tipe, yaitu:
Tipe X
Tipe ini diasumsikan sebagai karyawan yang malas, tidak suka bekerja, dan (cenderung) berpendidikan rendah. Kalau di Indonesia ya SMA ke-bawah. Posisi atau jabatan karyawan ini biasanya level pelaksana atau blue collar. Untuk membuat karyawan tipe ini bekerja adalah dengan supervisi (pengawasan) dan aturan yang ketat. Petunjuk cara bekerja harus diberikan sejelas mungkin dan rinci (ini yang banyak dilanggar juga, si bos sering nggak sabar ngajari bawahannya). Atasan yang galak, rese, dan aturan yang ketat cocok untuk bawahan tipe X ini, supaya tidak menyimpang dari pekerjaannya.



Tipe Y
Tipe Y ini diasumsikan sebagai karyawan yang suka bekerja dan (cenderung) berpendidikan tinggi. Sarjana ke-atas, lah. Posisi dengan tingkat pendidikan seperti ini biasanya level staf ke atas, atau pengambil keputusan (yang banyak "pakai otak" :p). Oleh karenanya, supaya lebih termotivasi dalam bekerja, karyawan tipe ini lebih suka diberi kebebasan menggunakan otaknya. Kalau salah ya cukup ditegur dengan halus atau disindir. Bila karyawan tipe Y ini diperlakukan seperti karyawan tipe X, maka yang terjadi bukannya kerja produktif, malah jadi sebel dan berantem sama atasannya (lho malah curhat :p).

Contoh yang mudah dipahami untuk mengaplikasikan teori ini adalah dengan melihat bagaimana seorang supervisor lini produksi mendidik para operator mesin, dengan bagaimana seorang manajer mendidik supervisornya. Seharusnya sih berbeda :p

Hal yang mungkin membuat sulit untuk menerapkan teori ini adalah sesuatu yang disebut "seni membaca orang". Seharusnya seorang atasan memiliki rasa "seni" ini setelah bekerja beberapa saat dengan bawahannya, sehingga dapat mengidentifikasi "tipe" bawahan tersebut, apakah tipe X atau tipe Y. 

Hal lainnya yang biasa bermasalah adalah "berkaca sebelum berbuat". Banyak orang tidak melakukan ini. Padahal hal ini penting lho. Sekedar berbagi informasi, dalam dunia profesi Apoteker, terdapat beberapa kode etik, salah satunya memperlakukan sejawat sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Jadi, harus "berkaca" dulu sebelum melakukan sesuatu. Kalau memiliki bawahan yang sudah "terbaca" perilakunya, maka sang atasan hendaknya berpikir dahulu seandainya dia menerapkan suatu kebijakan kepada bawahannya.
 
Hal sulit yang ketiga adalah tidak mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan emosi. Bukan mengesampingkan persaan, karena manusia bukan robot, tetapi bila hal yang membuat bad mood itu ada di luar lingkungan kerja, sebaiknya jangan ditunjukkan saat bekerja, otherwise rekan-rekan kerja Anda yang jadi korban. Contohlah seorang teller atau resepsionis hotel yang tetap tersenyum kepada konsumen, walaupun mungkin sedang jengkel dengan rekan kerja atau keluarganya. So bagi teman-teman yang sudah jadi bos, jadilah bos yang baik bagi bawahan Anda. Bos yang baik nggak harus galak kok :)