Thursday, February 9, 2012

Stereotip Indonesia = Maid Country??

Saya sudah mengunjungi beberapa negara di Asia, antaralain Singapura, Malaysia, dan Hong Kong (HK). Saat ini pun saya berstatus internship di sebuah konsultan bisnis di Kuala Lumpur, Malaysia.


Ketika berinteraksi dengan orang-orang di negara-negara tersebut, saya lebih suka menggunakan bahasa inggris. Awalnya, orang-orang pasti bertanya, "where are you from?" Saya jawab, "INDONESIA." Orang Malaysia dan Singapura kebanyakan mengira saya studi di sana karena berbahasa inggris, hehehe... Masih tampang S1 ^^ Yes, I am a master student, in Indonesia. Beda dengan HK. Orang sana sering mengira saya TKW di sana, wedew... Mending TKW profesional, lah dikiranya TKW buruh pabrik atau maid (pembantu rumah tangga) :S Waktu ke HK memang saya baru saja "lulus" dari pabrik sih, mungkin masih ada tampang buruh :p
"Negara TKI", gambar diambil dari komunitas Batak


Negara-negara yang saya sebutkan tadi merupakan negara-negara "sasaran" TKI. Saya bangga jadi orang Indonesia yang bisa mengunjungi negara-negara tersebut, tapi juga sedih, mengapa stereotip Indonesia adalah sebagai negara maid? TKI diasosiasikan sebagai pekerja "kerah biru", buruh atau pembantu. Sebagai contoh lagi, di Malaysia, walaupun saya bukan sebagai maid, tapi jika saya mengaku dari Indonesia, pasti orang bercerita, "Ah, my maid is from Indonesia, she is from Java." Nggak cuma orang Malaysia, orang Filipina pun bilang begitu. Walaupun yang diceritakan hal-hal baik, tapi ya tetap saja maid. Seolah orang Indonesia (terutama perempuan) yang kerja di negara itu adalah sebagai maid. Office woman di kantor tempat internship saya pun berasal dari Purwakarta, dan beliau baik sekali. 

Stereotip "Indon = berpendidikan rendah atau Indon = stupid" sudah melekat di masyarakat negara tetangga. Pernah suatu hari, pulang kantor, saya yang berkostum blazer ini mencoba naik bis pulang. Karena baru pertama kali, saya menaiki arah yang berlawanan, padahal jalur bisnya sudah betul. Eh, sopir bis memarahi saya, padahal saya sudah menjelaskan kalau itu baru pertama kali naik bis. Si sopir itu memang menyebalkan, seolah-olah saya orang Indonesia yang tidak berpendidikan, ckckck... (catatan untuk menghibur diri sendiri: kalau tuh sopir pendidikannya tinggi, dia nggak bakal jadi sopir bis :p).


Di Hong Kong beda lagi. TKW di sana dandanannya nyentrik-nyentrik. Begitu pula di Singapura. Baju seksi warna-warni, rambut kadang-kadang dicat coklat, tapi bicaranya medok, hahaha. Saya ke negara-negara itu sebagai turis backpacker, bukan turis koper, sehingga bentuknya ya seperti orang kere jalan-jalan. Petugas imigrasi pun membutuhkan beberapa saat mempelajari employee pass di paspor saya. So, setelah orang menanyakan asal saya, di Hong Kong saya ditanya juga dari agen mana >.< Bedanya, kalau di Singapura, kebanyakan TKW maid tidak berbicara dalam bahasa inggris, sehingga untuk "menghindari" stereotip maid, saya terus menggunakan bahasa inggris, hehehe... That's why I prefer english to bahasa.


Dear Indonesia, mengapa yang dikirim maids, bukannya tenaga kerja profesional? Belum lama ini, pengiriman maid dari Indonesia ke Malaysia dihentikan karena banyaknya kasus, dan baru akan dimulai kembali bulan depan. Saya pribadi berpendapat, sebaiknya Indonesia mengurangi pengiriman maid dan menambah pengiriman TKI-TKI profesional. Why not? Banyak sarjana menganggur di negeri sendiri. Orang Indonesia sebetulnya tidak bodoh, masa membuat citra "bodoh" di negeri tetangga. Terus terang, saya merasa miris kalau orang-orang negeri tetangga ngerumpi tentang maid Indonesia mereka.

Ini gambar dari iklan agen TKI, tuh stereotip TKI = kuli >.<

TKI sektor informal memang menyumbang devisa bagi Indonesia, namun jangan lalu yang dikirim TKI informal melulu. TKI formal berpendidikan tinggi pun menyumbang devisa, bahkan lebih besar. Adalah suatu kebanggaan bisa memenuhi kriteria internasional dan menyumbangkan devisa bagi negeri sendiri, namun akan lebih baik lagi jika citra INDONESIA di dunia internasional ditingkatkan dengan mengirim tenaga kerja "kerah putih" :)


*sekedar uneg-uneg penulis, disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Tuesday, February 7, 2012

A Day In Singapore

Apa yang sebaiknya dilakukan kalau long weekend? Tentu saja berlibur :D Akhir minggu ini kantor tempat training saya di Kuala Lumpur libur 4 hari, mulai hari Sabtu, 4 Februari 2012 hingga Selasa, 7 Februari 2012. Masuk lagi baru hari Rabu. Asyiknya kantor ini, kalau ada hari kejepit, sekalian diliburkan. Hari Minggu 5 Februari 2012 adalah peringatan Maulidur Rasul. Sementara Selasa 7 Februari 2012 adalah peringatan Thaipusam. Jadinya, Senin diliburkan.

Daripada bengong di guesthouse, seminggu sebelum long weekend saya membeli tiket kereta (maksudnya train lho) dari KL ke Singapura. Tiket bisa dibeli di KTM, di KL Sentral. Saya beli tiket KTM Senandung Sutera (ini nama keretanya), berangkat hari Sabtu jam 11 malam ke Singapura, lalu balik Minggu jam 11:30 malam dari Singapura. Sengaja, biar nggak usah sewa penginapan di Singapura. Irit :p ! Saya beli yang seat (duduk) seharga RM 34 sekali jalan. Tips biar hemat, sekalian beli pp aja dari Malaysia, soalnya kalau beli di Singapura, mata uangnya pakai SGD, jatuhnya lebih mahal. So, untuk transport pp KL-Singapura, total biaya RM 68 (sekitar Rp200rb). Info KTM, cek www.ktmb.com.my


Tiket PP KL-Singapura



Hari Sabtu, saya berangkat dari Stasiun KTM KL Sentral, Gate B. Saya datang awal, karena bis U87 dari tempat tinggal saya di daerah Bangsar jarang-jarang ada. Di KL Sentral dinner dulu, terus bengong sambil menikmati Wi-Fi gratisan yang lemot, hehe... Platform keretanya ada di bawah. Sistem di sana, kalau mau naik kereta, antre dulu di dekat eskalator menuju platform, sampai dibukakan pembatasnya sama petugas. Jam 10:30 malam saya sudah mulai antri. Di dekat saya mengantri, ada serombongan emak-emak yang bawaannya bejibun kayak pindah rumah. Setelah didengarkan, we lah kok ngapak pisan... Wedew, Indon... 


Mendekati jam 11 malam, waktu pemberangkatan di tiket, ada pengumuman kalau si kereta telat (nggak tanggung-tanggung!), dan diperkirakan baru berangkat jam 00:20 dini hari. Mati kutu. Yaudah deh, hot nglesot di deket eskalator. Oiya, bagi bezer club, saya peringatkan kalau WC di KL Sentral deket Gate KTM itu payah, jadi yang tabah ya, kalau pakai WC di situ... Di sela-sela waktu menunggu, saya berkenalan dengan cewek Turki cantik dan pacarnya. Mereka punya itinerary yang sama dengan saya. Lucky! Cewek Turki itu kerja di hotel di Cappadocia, sementara pacarnya kerja di balon udara Turki ^^ Dia mau arrange kalau saya ke Turki kemudian hari *colek cicik Livya*

Setelah ber-hot nglesot ria, akhirnya penumpang diperbolehkan menuju platform dan naik ke kereta. Bentuk keretanya mengingatkan saya pada kereta bisnis di Indonesia, tapi pakai AC. Kalau di Indonesia kereta eksekutif dipinjami selimut, nah di kereta ini nggak ada selimut, jadi siap-siap kedinginan, hohoho... Nggak di Malay ga di Indo, kereta tetep aja molor. Semula kereta dijadwalkan berangkat jam 11 dari KL, tiba jam 6:35 pagi di Singapura. Tapi kenyataannya molor. Keretanya ngetem lama banget di JB Sentral, alias Johor Baru Sentral. Imigrasi Malaysia dilakukan di sini. Petugas imigrasi masuk gerbong & coret-coret paspor saya seperti artis memberi tandatangan ke fans-nya (bukannya di-cap >.<). 
 Suasana di kereta (mirip di Indo kan?)

Saya di dalam kereta

Stasiun KL Sentral

 Menyeberang Malaysia-Singapura (mirip Suramadu :p)

Selepas dari JB Sentral, tak lama kemudian (sekitar jam 8:15 pagi) saya sampai di Woodlands Train Checkpoint, Singapura. Antrian imigrasi di sini nggak nguati juga. Lama! Sekitar jam 9 baru beres deh cap-capan paspornya. Untuk menuju MRT, dari Woodlands Checkpoint masih harus naik bis jalur 912 atau 913. Ongkosnya SGD 1.10. Wah, uang saya SGD50-an, ga ada uang kecil. Sama pak sopir ditunjukkan money changer dan saya menukar RM dulu di sana. Sampai di bis lagi, ada bule nalangin ongkos bis (soalnya dia juga ga ada uang kecil), ya sudah, ngikut aja. Stasiun Woodlands MRT ternyata masih jauh dari Checkpoint. Serasa dari ujung-ke-ujung rute bis. Sempat salah turun juga gara-gara ngikutin bule, tapi untung diijinkan naik lagi gratis sama pak sopir.

Setelah sampai MRT, saya beli tiket single trip ke Ang Mo Kio seharga SGD 2.90 (termasuk deposit SGD 1), untuk beli Singapore Tourist Pass (STP), biar bisa keliling naik MRT & bis Singapura gratis seharian. Info Singapore Tourist Pass: www.thesingaporetouristpass.com. STP untuk sehari seharga SGD 18, termasuk deposit SGD 10, bisa ditebus kalau sudah mengembalikan kartunya. Setelah sampai Ang Mo Kio, ga lupa saya ambil deposit SGD 1 di mesin. Caranya: tap kartu di tempat yang disediakan, lalu masukkan kartu, beres deh, tinggal tunggu duit keluar.

Setelah sukses beli STP, saya segera menuju City Hall, mau ke Good Shepherd Cathedral, ikut Sunday Mass jam 10, sementara jam menunjukkan 9:45 >.< Bukannya sok religius, tapi saya sudah 3 minggu nggak ke gereja (jangan ditiru ya...). Sampai City Hall, lihat peta di papan pengumuman, terus jalan di Stamford Road, menuju Victoria Street. Dekat stasiun City Hall sendiri ada gereja, St. Andrews Cathedral, tapi itu gereja Anglican (--'). Setelah ngos-ngosan ke gereja, saya masuk pas lagu pembukaan hampir selesai. Masih dapat tempat duduk di barisan agak depan ^^ syukurlah. Gereja ini adalah gereja katolik tertua, didirikan tahun 1832. Beruntung lagi, yang memimpin ibadah Uskup Singapura langsung, lengkap dengan topi tinggi-nya. Yang bikin saya takjub, masih ada orgel berpipa-pipa yang bisa dimainkan dan choir-nya amazing! Bahkan ordinarium-nya extraordinary. Sayangnya nggak bisa saya rekam ordinariumnya, fokus berdoa lah. Di Singapura ini, banyak orang Filipina. Kalau saya diam nggak ngomong dan dari nama lengkap saya, saya juga dikira orang Filipina, apalagi ke gereja, hahaha..
Teks yang dibagiin usher

 Gereja, lengkap dengan orgel-nya (kiri atas)

Selesai beribadah, saya mencari-cari Merlion Park. Kalau biasanya saya mengandalkan peta dan kompas, kali ini saya nggak punya peta, cuma berdasarkan ingatan (mau print di kantor juga nggak enak :p). Di jalan, saya bertanya ke rombongan turis bule yang bawa peta. Iseng numpang baca petanya. Setelah itu saya naik MRT ke Raffles Place, foto-foto di jembatan-jembatan & gedung-gedung kuno di sana. Setelah jalan sana-sini, ketemu juga Merlion Park di dekat Esplanade (gedung teater durian), dekat kapal yang nyangkut di atas gedung. Foto lagi...
Kota Raffles

Jembatan...

di depan Fullerton Hotel

Merlion Park

 Kesampaian deh foto sama Merlion ^^

Kapal nyangkut

 di depan Esplanade alias teater durian

Rute selanjutnya: Sentosa. Misi kali ini: foto di depan Universal Studios, tanpa masuk ke dalam, hahaha...Dari Raffles Place, saya naik MRT ke Harbour Front. Di sana langsung masuk mall VIVO City, level 3. Daripada buang waktu jalan di broadwalk, saya pilih naik Sentosa Express seharga SGD 3 pp. Saya turun di Stasiun Waterfront, tempat Universal Studios. Mission accomplished. Setelah itu, keliling, ke Imbiah, foto, trus cari Merlion yang besar, terus foto di sana, hehe... Pokoknya keliling-keliling ga jelas di Sentosa. Saya lunch di KFC Sentosa seharga SGD 6.70 (sekitar Rp50rb). Ahaha, lunch yang mahal.
VIVO City

Mission Accomplished! Yes!

Gerbang Universal Studios

ticket booth

Waterfront

colorful Merlion @ Sentosa

 Merlion besar di Sentosa ^^

Puas keliling Sentosa, balik lagi ke VIVO City. Saya mau mencari Henderson Waves, jembatan bagus yang disarankan teman untuk dikunjungi. Di VIVO City, saya mencari halte bis. Di halte bis sudah ada tulisan rute-rute bisnya, jadi saya mikir: kalau nama objeknya "Henderson" Waves, maka pasti deket Henderson Road. Jadi, saya pilih bis yang lewat Henderson Road, jalur 131 atau 145 dari VIVO City :p Begitu bis belok ke Henderson Road, saya lihat ke atas, kira-kira setelah lewat 2 halte, kelihatan deh si Henderson Waves, dan saya memencet tombol stop. Selanjutnya, naik tangga menuju Henderson Waves, hosh. Setelah sampai, pemandangannya bagus ^^ Apalagi saya ke sana sore, nggak begitu panas. Setelah lihat peta di dekat Henderson Waves, saya mengurungkan niat untuk ke Alexandra Arch (jembatan juga, tapi jauuuhh, harus lewat forest walk).
Henderson Waves dari dekat halte bis

Pose sebelum ngos-ngosan naik tangga

I made it, cicik ^^ tanpa nyasar

Pose di salah satu arch

 TePar sejenak

Setelah misi Henderson Waves tercapai, saya menuju objek gratisan lainnya: Chinese Garden dan Japanese Garden. Mau ke Singapore Botanical Garden tapi nggak sempat cari tempatnya, hehe... Mending ke Chinese Garden yang sekompleks sama Japanese Garden. Waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. Perjalanan ke Chinese Garden agak lama. Saya baru sampai sekitar jam 6:30 sore. Sampai sana, loh kok lapangan? Wah, masih harus jalan kaki lumayan jauh... Yang tabah ya kakiku... Sampai gerbang, saya beli minum lemon tea botol seharga SGD 1.5. Tamannya lumayan bagus. Japanese Garden tutup jam 7 malam, sementara Chinese Garden tutup jam 11 malam. Di sana ada larangan memancing (fishing), tapi waktu di sana, saya menemukan ada orang Malaysia memancing kura-kura... Kasian kura-kuranya, huhu... Ya, memang bukan fishing, tapi turtling... (--")
Keluar MRT, Chinese Garden = lapangan?
di depan pagoda

Chinese Garden Bridge
Japanese Garden 

 Chinese Garden

Jam 7 malam lebih, saya menuju Chinatown, mau membeli kaos buat keluarga saya. Perjalanannya lumayan lama. Sampai Chinatown sudah jam 8 malam, sementara biar depositnya kembali, si STP harus ditukar maksimal jam 9 malam karena counter-nya tutup jam 9 malam. Yup, sampai Chinatown, asal keluar tanpa lihat exit mana, tembus ke People's Park, shopping kilat di Chinatown, beli 3 kaos seharga SGD 12, terus segera cabut ke tempat penukaran terdekat, City Hall. Setelah kartu STP ditukar, saya dapat SGD 10. Legaaa... Jam menunjukkan pukul 8:30 malam, sementara kereta dari Woodlands ke KL Sentral masih jam 11:30 malam. Saya mengisi waktu dengan jalan-jalan nggak jelas di City Hall. Foto-foto St. Andrews Cathedral, Esplanade & kota di malam hari. Jam 9:30 saya berangkat dari City Hall ke Woodlands dengan MRT single trip ticket seharga SGD 3.2 (termasuk deposit SGD 1). MRT-nya penuh. Saya harus berdiri sambil menggendong backpack seberat 10 kg, selama 1 jam, hohoho... Sampai Woodlands, kembali lagi naik bis jalur 913 seharga SGD 1.1 untuk menuju Woodlands Train Checkpoint. Naik bisnya dari tempat antrian yang sudah disediakan.
People's Park, Chinatown

Chinatown at night
St. Andrews Cathedral at night 

Esplanade & kapal nyangkut

Saya di Raffles City

Sampai di Woodlands Train Checkpoint, tiket saya dilubangi, masuk gedung terus tunggu di sana. Ketemu lagi deh sama teman Turki saya ^^ I got her contact! Dia cerita banyak hal menarik di Turki, wow! Suatu hari semoga saya bisa beneran ke Turki. Menjelang jam 11:30 malam, penumpang mulai antri imigrasi Singapura, dilanjutkan imigrasi Malaysia. Kali ini pakai cap. Anehnya, walaupun saya punya employee pass atau multiple entry visa dari perusahaan, paspor saya dicap seperti visa turis biasa, valid to stay for 30 days. Nah lo... Apakah saya disuruh liburan keluar Malaysia lagi, kalau masa training saya masih lebih dari 30 hari lagi? Hohoho... Selama antri imigrasi, dapat "teman" baru deh. Cewek Brazil, namanya Maira, single backpacker. Kenalan juga soalnya nama lengkap saya seperti orang sana, hahaha... Lihat si Maira dengan 2 ransel depan-belakang, jadi memantapkan diri untuk single backpacking juga... next: Hat Yai, maybe ^^


Kereta yang saya naiki baru berangkat sekitar jam 12 malam (molor juga!) plus ngetem lagi di JB Sentral. Fasilitas keretanya sama seperti waktu berangkat dan kedinginan juga, hehehe... Kaki rasanya sudah nggak karuan, pegel plus kapalan. Kereta sampai di KL Sentral jam 6 pagi. Saya kembali naik LRT dan bis U87 yang lama nunggunya itu menuju tempat tinggal di Bangsar. Saking capeknya, begitu sampai rumah jam 7:30 pagi, langsung tidur sampai jam 3:30 sore, hohoho... Viva flashpacker!

Friday, February 3, 2012

Country Marketing


What is marketed? Philip Kotler said that the answers are almost everything can be marketed: goods, persons, experiences, information, idea, and even a country. I am Indonesian, but I live in Malaysia for a couple of months. This is my second time. I've been in Malaysia last year, for holiday.

Well, related to the title, a country can be marketed. When I go to Jakarta, the capital of Indonesia, I can see a huge banner of Malaysia promotional ads, said that "Malaysia is truly Asia". Even a country put such an ads in another country's capital. Malaysia is very aggressive in promoting their country. Few months ago, my friends attended a blog competition, held by Selangor State Tourism Board. They were selected to enjoy tourism things in Selangor. In the Malaysian Embassy, Jakarta, I can take free booklets and Malaysia maps.

I live in Kuala Lumpur, the capital of Malaysia. I go around the city and I can't find any country's advertisement like I found in Jakarta before. I had an experience as a tourist in Malaysia. They have Hop-On-Hop-Off (HOHO) buses that go around the tourism objects in KL. The important thing is the low budget airline AirAsia is headquartered Malaysia, and they make Kuala Lumpur as a "gate" to go around Asia. Malaysia introduced their country well, and set good perceptions in foreigners' mind. That's what marketing for.
 

Marketing is not only about promotions. In the earlier marketing mix, there is "4P" which consists of Product, Price, Place, and Promotions. Those Ps should be met to obtain a successful marketing. Indonesia has many incredible tourism objects, but it's hard to access those objects, poor transportation, and it is a big problem. The "Place" element does not match. Poor transportation will cause higher price to go to the location, and only few people can afford it. Then, the "Price" element also does not match. And now, the "Promotion" element. One of my job is news-media monitoring. Almost everyday, I see bad news in Indonesian media: corruption case, violence, sexual harassment in the public transportation, etc. Indonesia is not that bad, many beautiful things inside. Those will cause some bad image about Indonesia. That's why Indonesia need to do "country marketing". Not only about tourism, but also in investment.


Recently, World Bank conducted a survey about the most interesting and friendly city for investment in Indonesia. The results are:
1. Yogyakarta
2. Palangkaraya
3. Surakarta
4. Semarang
5. Banda Aceh
6. Gorontalo
7. Balikpapan
8. Jakarta
9. Denpasar
10. Mataram

Yogyakarta is #1 :) This survey has good impact in Indonesia's country marketing. Hopefully it will reduce the bad image and attract more investors to go to Indonesia. Maybe we have to show up and promote the country aggressively, just like Malaysia do.