Selamat
hari raya Waisak 2557 bagi umat Buddha. Semoga semua makhluk berbahagia. Hujan
yang turun kemarin akan membawa rejeki dan damai senantiasa di bumi.
Terus
terang, saya menulis ini karena merasa risih atas penyebaran foto crazy traveler. Menurut saya, bukannya
memberitahukan hal positif mengenai Waisak (baca: mengingatkan orang), tetapi
malah mencoreng seluruh turis yang kemarin mengunjungi Borobudur. Padahal tidak
semua turis seperti yang ada di foto itu lho. Penyebaran foto seperti itu malah
akan mengusir wisatawan yang akan mengunjungi Borobudur. Belum lagi
komentar-komentar orang yang rata-rata mencela turis di Borobudur. Dengan
pengelolaan yang baik, umat Buddha dapat beribadah dengan tenang dan foto itu
tidak akan ada. Let me explain.
WALUBI
(lembaga keagamaan Buddha) sudah menghimbau para pengunjung Borobudur untuk
melapor dan mendaftarkan diri sebagai peserta/wartawan/fotografer yang akan
masuk ke area ibadah. Orang/kelompok yang sudah mendaftar akan mendapatkan ID
card. Saya sendiri sudah didaftarkan teman dari Magelang, sehingga saya
mengenakan ID peserta. Kami hanya ingin melihat lampion, yang kalau di urutan
tata perayaan di website WALUBI ada di penghujung acara (malam), sehingga kami
tinggal di hotel dan baru masuk ke area candi pada senja hari dengan sudah
mengenakan ID card.
Begitu
sampai jalan menuju gerbang, banyak orang berdesakan di sana. Kami berusaha
mengantri , namun kami terdesak kea rah gerbang yang hanya dibuka selebar 1
meter. Setelah melewati gerbang, karena ada isu bom *sigh* kami diharuskan
melewati metal detector yang hanya ada 1. Ketika mengantri metal detector,
pintu gerbang sudah ditutup dan baru dibuka lagi saat antrian detector sudah
agak sepi. Yang saya sayangkan, petugas tidak memeriksa ID card dari WALUBI,
sehingga siapa saja bisa masuk :( Termasuk turis yang perilakunya seperti si
crazy traveler. Kami beruntung datang bersama teman dari Magelang yang sudah
memahami prosesi Waisak, sehingga teman kami tersebut dapat memperingatkan “do”
and “don’t”s selama Waisak, dan tempat yang tidak mengganggu umat yang
beribadah.
Setelah
lewat metal detector (ini juga petugas nggak memeriksa detail karena terlalu
banyak orang, yang diperiksa cuma permukaan isi tas), kami masih harus berjalan
ke pintu menuju candi. Di pintu menuju candi, baru ada pemeriksaan ID card
peserta yang sudah mendaftar ke WALUBI. Tapi kok ya orang yang tidak punya ID
juga bisa masuk :( #duh
Saat kami
sudah di dalam, perayaan belum dimulai, sehingga kami bisa memotret dari
belakang umat yang duduk di karpet. Para Buddhis muda panitia Waisak pun
mengatur tempat duduk. Sebetulnya kami diperbolehkan duduk di karpet, namun
kami merasa tidak enak, karena itu ibadah (banyak juga turis yang duduk di
sana). Waktu itu juga gubernur Jateng menyeruak kerumunan dan menuju ke arah
altar. Menteri terlambat hadir, dan karena itu perayaan molor.
Begitu perayaan sudah dimulai, kami keluar dari
area ibadah dan menunggu di belakang sambil mendengarkan melalui speaker. Banyak
juga kok pengunjung yang “tahu diri,” menunggu di luar area ibadah. Saat umat
berdoa mengelilingi candi, kami maju mendekati area petugas kamera dan speaker
dekat altar. Sampai sana, saya sedih, karena banyak turis malah naik ke altar,
sehingga pemimpin ibadah pun harus mengingatkan di sela-sela doa karena para
turis itu menghalangi jalan umat dan pemimpin ibadah yang akan turun dari/kembali
ke altar :(
(karena saya dekat speaker, saya dengar sekali), dan memang kurang ajar mereka,
walaupun pemimpin ibadah sudah terganggu doanya karena menyuruh mereka turun
dari altar, mereka masih di sana. Saya yang di dekat petugas kamera hanya dapat
memandang dengan miris. Untung teman-teman yang datang bersama saya masih tahu
diri. Kami tetap di dekat petugas kamera dan speaker hingga perayaan Waisak
dinyatakan ditutup. Petugas mengumumkan bahwa karena hujan, pelepasan lampion
ditiadakan. Ya sudahlah. Lebih baik begitu, karena pengunjung kali ini juga tidak
tertib. Setelah perayaan selesai dan dipersilakan, barulah kami berani
mengambil foto di altar.
Dari pengalaman yang saya ceritakan ini, semoga
pembaca nggak meng-generalisir turis yang mendatangi perayaan Waisak sebagai “crazy
traveler.” Bagaimanapun Waisak adalah event
internasional yang besar di Jawa Tengah, dan orang biasanya datang melalui
Yogyakarta dan Semarang. Event di
suatu daerah akan mendongkrak pariwisata di daerah tersebut. Cobalah lihat event religi lain seperti umroh/ziarah
di Jerusalem, Saudi, dan negara Timur Tengah lainnya, perayaan Natal dan Paskah
di Vatikan, juga audiensi Paus di Vatikan. Selain di Saudi, event di tempat lainnya tidak menanyakan
agama orang yang datang. Setiap orang bisa datang. Adanya event besar akan menghidupi masyarakat di sekitar tempat tersebut,
oleh karena itu, event harus
dipasarkan dengan baik. Cobalah pikir, kalau ada turis mendatangi perayaan
Waisak, masyarakat sekitar akan diuntungkan dengan ramainya penginapan, makan,
dan transportasi.
Sekali lagi, yang harus dilakukan adalah
mengelola event tersebut dengan baik.
Contohlah Vatikan saat audiensi Paus. Saat itu berbagai kalangan dari berbagai negara
datang. Orang atheists dan orang dengan agama apapun datang dan tidak ada yang
bertanya “apa agamamu?” Walaupun demikian, event
management-nya lebih tertata. Misalnya, saat akan mendatangi audiensi Paus,
pengunjung dipersilakan mengambil undangan gratis di toko souvenir di Vatikan
atau di gerbang Swiss Guard (seperti halnya kalau akan mendatangi Waisak,
mengambil ID card terlebih dulu). Kemudian, masalah baju, secara penduduk Eropa
bule, maka tak jarang orang berpakaian minim. Di sini pihak Vatikan tegas. Yang
boleh masuk hanya yang memakai baju berlengan dan lutut tertutup. Selain itu
tidak diizinkan masuk. Borobudur seharusnya tegas dalam hal seperti ini. Kalau
Borobudur tegas, foto crazy traveler tidak terjadi. Anyway, setahu saya di Borobudur itu walaupun di dalam area candi,
selalu ada security yang mengingatkan
manner pengunjung. Kenapa orang di
foto itu bisa lolos?! Seharusnya karena ada perayaan besar, security malah diperketat. Di pintu
masuk kemarin, seharusnya cek ID dilakukan di awal, sehingga pengunjung illegal
nan barbar bisa lebih ditertibkan. Altar sebaiknya dibatasi hanya untuk
kalangan tertentu (diberi pagar). Itulah gunanya toleransi. Umat Buddha
merupakan minoritas di Indonesia. Orang lain hendaknya membantu mengamankan
Waisak, walaupun beda agama. Kalau saya sih membayangkan seandainya saya
beribadah di Roma/Vatikan, para pengunjungnya malah ribut sendiri, foto-foto di
altar, pasti saya akan terganggu. Sewaktu beribadah di sana dulu, juga ada
orang yang foto sana-sini, hanya saja panitia tegas, dan ada pagar antara umat
dengan para pemuka agama, choir, dan tamu penting yang dijaga ketat. Arak-arakan
pun diatur oleh petugas, sehingga lebih tertib.
Indonesia sebagai pusat ibadah harus belajar
manajemen event keagamaan. Jangan
sampai kejadian itu terulang kembali. Tolong pasarkan event dengan baik, sebagai orang Indonesia harusnya bangga, dikenal
sebagai pusat agama tertentu. Tidak ada salahnya menarik turis ke event religius, dan konsekuensinya harus dapat mengelola pengunjung
dengan baik. Tolong jangan malah de-marketing dengan menuduh semua turis mengganggu perayaan
keagamaan. Wrong. Itu akan
menyurutkan Indonesia (terutama Jogja-Jateng) sebagai tujuan turis. Tolong juga
jangan berpikiran “jangan datang ke perayaan agama lain” atau “jangan
mengucapkan selamat hari raya ke agama lain.” Kehadiran dan ucapan dari pemeluk
agama lain itu merupakan wujud dukungan, selama mereka tidak mengganggu ibadah. Stop penyebaran foto crazy traveler!
Stop spreading bad news about Indonesia,
let’s market our country as a peaceful and beautiful place to visit. Creating good images of Indonesia will be very helpful.