Tadi lihat newsticker sebuah stasiun televisi ada berita mengenai antibiotik yang dapat mengakibatkan kematian. Yayaya, pada kasus ini ada kemungkinan peresepan antibiotik yang ngawur, sehingga informasi yang disampaikan kepada pasien pun salah.
Pertama-tama, sesuai dengan yang saya pelajari sewaktu kuliah farmasi, OBAT = RACUN. Makanya, ada lambang farmasi yang berbentuk piala dan ular. Lho, berarti kalau minum obat = minum racun dong? Ya, tapi yang membedakan obat dengan racun adalah dosisnya.
Kedua, apakah antibiotik itu? Antibiotik adalah obat untuk membunuh mikroba yang mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, apabila orang terinfeksi mikroba atau terkena penyakit yang disebabkan mikroba (misal: typhus, radang tenggorokan, dll), dokter biasanya meresepkan antibiotik yang sesuai untuk membunuh mikroba itu. Mengapa "yang sesuai"? Karena mikroba bermacam-macam dan terdapat beraneka macam golongan antibiotik. Golongan antibiotik yang paling sering didengar antaralain yang berakhiran -cilin, -floxacin, dan sebagainya. Namanya aneh-aneh karena pada umumnya nama obat itu dibuat berdasarkan struktur kimianya. Misalnya PARASETAMOL (obat turun panas) diambil dari para-asetil-amino-fenol, struktur kimianya.
Kembali ke antibiotik. Penentuan dosis antibiotik itu sangat penting. Namanya juga racun pembunuh mikroba pengganggu, dosisnya harus tepat. Bila dosisnya kurang, mikrobanya nggak mati, tapi kalau berlebihan, yang namanya racun pasti mengakibatkan sesuatu bagi tubuh. Karena itulah, pembelian antibiotik harus dengan resep dokter.
Ketiga, mengapa antibiotik harus diminum teratur sampai habis? Simpel, kalau kita mau membunuh hama, maka hama itu harus terus 'dicekoki' racun hingga mati. Bila ditengah-tengah proses itu berhenti, hama itu akan pulih dan menjadi resisten terhadap racun yang digunakan. Begitupun untuk kuman. Antibiotik bagaikan pestisida. Harus diminum secara teratur untuk menjaga kadarnya dalam tubuh, dan harus diminum hingga habis agar mikroba benar-benar mati.
Nah, yang disayangkan saat ini, para rekan dokter banyak yang latah dalam meresepkan obat. Kebanyakan dokter meresepkan berdasarkan hafalan, tidak customized berdasarkan kasus penyakit pasiennya. Saya pernah menjumpai resep dari seorang dokter yang selalu memberi antibiotik, padahal penyakit pasiennya belum tentu perlu diberi antibiotik. Sakit flu misalnya. Flu disebabkan oleh virus, bukan mikroba. Virus itu berbeda dengan mikroba (bakteri & jamur). Sejauh ini, virus belum ada obatnya. Namun para dokter biasa meresepkan antibiotik (biasanya amoxicillin) pada penderita flu. Ya, itu bisa bila pasien juga menderita batuk. Obat yang paling tepat untuk flu menurut saya adalah peningkat daya tahan tubuh (imunomodulator), karena virus dapat diusir dari tubuh oleh tubuh sendiri.
Hal kedua yang saya sayangkan adalah kurangnya informasi mengenai interaksi obat yang disampaikan kepada pasien (atau malah pengetahuan tenaga medis sendiri yang kurang?). Ini juga bagi sejawat saya, para apoteker yang menyampaikan obat (dispensing) kepada pasien. Sebaiknya disampaikan bahwa obat "A" jangan diminum bersama obat atau makanan "B" karena dapat menimbulkan efek berbahaya, atau misalnya: "sebaiknya parasetamol tidak diminum dengan susu karena efeknya akan berkurang" (ya, karena molekul parasetamol akan berikatan dengan susu, bukan dengan reseptor tubuh). Dengan demikian, pasien mengetahui aturan minum obat yang benar, serta meminimalisir risiko. Telah banyak kasus mengenai kesalahan cara minum obat yang mengakibatkan kematian (mungkin kasus antibiotik ini salah satunya).
Hal ketiga, bagi sejawat saya para apoteker yang bekerja di industri, terutama pada bagian produksi, research & development dan quality assurance, mohon untuk selalu bekerja dengan jujur dan menaati GMP dengan baik, karena produk yang Anda buat dapat menentukan hidup seseorang. Pastikan obat yang dibuat memenuhi standar safety, quality, dan efficacy (aman, berkualitas, dan manjur).
No comments:
Post a Comment